Suara jam beker membuat seorang gadis
menggeliat panjang di atas tempat tidur. Seolah enggan untuk beranjak, sang
gadis kembali bergelung di bawah selimutnya. Udara di awal musim panas itu sama
sekali tidak mengganggunya karena AC dikamar membuatnya tetap nyaman.
"Nona Maya, sudah waktunya anda
bangun." Sang menejer, Midori, mengguncang perlahan bahu Maya.
Sekali lagi Maya menggeliat panjang lalu turun
dari tempat tidurnya.
"Bukankah saya sudah mengingatkan anda
untuk istirahat lebih awal tadi malam?" Tanya Midori begitu melihat
lingkaran hitam di mata Maya seusai mandi.
Maya tertawa mendengarnya, "Salahkan Koji
kalau begitu."
"Tuan Sakurakoji? Dia datang menemui anda
semalam?" Tanya Midori sembari sibuk menyiapkan sarapan untuk Maya.
"Ya begitulah, tapi tenang saja, semua
selesai dengan baik meski aku tidak bisa tidur setelahnya."
Midori hanya bisa menggeleng geli dengan
jawaban Maya.
"Nikmati sarapan anda, saya akan siapkan
keperluan anda sebelum berangkat." Ucap Midori.
Maya mengangguk sambil menggigit roti bakarnya,
"Terima kasih," jawabnya kemudian.
***
Gedung Theatre Daito, Kyoto.
Kilatan kamera, wawancara, pengguntingan pita
dan kata sambutan, sungguh membuat Masumi menggerutu dalam hati. Pasalnya para
wartawan itu juga menyelipkan pertanyaan seputar masalah perceraiannya
alih-alih membahas masalah peresmian gedung. Tapi bukan Masumi namanya jika
tidak bisa menghadapi serbuan tikus-tikus pencari berita itu. Sekesal apapun
dirinya, topeng sang direktur utama tidak boleh sampai terlepas. Alhasil,
beberapa wartawan yang lancang justru terlihat pucat saat Masumi menyatakan
beberapa hal mengenai batas privasi dan konsekuensinya. Masumi menyeringai
penuh kemenangan.
Masumi yang mulai menikmati jalannya pesta
peresmian tampak terusik dengan getar handphone yang ada di dalam saku atas
jasnya. Tapi nama yang muncul di layar membuat Masumi sedikit bersemangat.
"Ya Nona Midori?"
"Selamat siang Tuan. Sesuai permintaan
anda, semuanya sudah saya siapkan."
Masumi menaikkan sedikit sudut bibirnya dan
berjalan menjauh dari keramaian.
"Bagus. Bagaimana dengan jadwalnya hari
ini?"
"Semua sudah saya koordinasikan."
Kali ini dewa keberuntungan berpihak pada
Masumi. Setelah semalaman dia mengatur beberapa rencana sampai mengorbankan
waktu tidurnya, sekarang semuanya berjalan lancar. Salahkan Koji yang
membuatnya meradang semalaman. Jika bukan demi Maya, dia pasti sudah
menghadiahi pemuda itu pukulan telak dari rahang bawah. Berani menyentuh apa
yang menjadi milik seorang Masumi adalah kesalahan besar dan Masumi akan
membalas semua itu hingga Koji akan berhenti bermimpi untuk bisa memiliki
gadisnya.
"Pastikan semuanya siap tepat waktu. Aku
tidak mau ada kesalahan." Kata Masumi kemudian sebelum mengakhiri
teleponnya dan dijawab dengan mantap oleh Midori.
Maya,
tidak akan ku biarkan pemuda itu menjadi penghalang diantara kita.
***
"Cut!" Teriak Tuan Himekawa, sang
sutradara, "Maya!"
Pemilik nama itu berjengit entah untuk yang
keberapa kalinya dalam siang itu. Lagi-lagi sang sutradara tampak kesal dan
tidak puas dengan aktingnya.
"Maaf," kata Maya seraya
membungkukkan badan meski tidak mengerti kesalahan apa yang sudah diperbuatnya
hingga sutradara hebat itu terus saja meneriakkan namanya dengan nada tinggi.
"Sudah berapa kali ku katakan! Itu bukan
ekspresi cinta! Kau harus lebih mendalami peranmu! Kau ini kekasihnya bukan
ibunya jadi berhenti menatapnya seperti seorang ibu menatap anaknya!"
Teriak Tuan Himekawa lagi.
Maya mengernyit lalu melirik sekilas pada Koji
yang juga tampak tak mengerti dengan arahan sang sutradara. Maya menggaruk
kepalanya yang tidak gatal.
"Kita ulang sekali lagi!" Perintah
Tuan Himekawa disambut desahana lirih dari semua pemain dan kru.
Maya kembali mengucapkan dialognya namun belum
habis satu kalimat keluar dari bibirnya, sang sutradara kembali berteriak.
"Kitajima!!! Kau diliburkan dua hari!
Dalami peranmu dan jangan kembali sebelum kau mengerti apa yang aku inginkan!”
Brak!
Maya membelalak terkejut mendengar instruksi
Tuan Himekawa. Tak hanya dirinya, semua kru dan pemain juga tampak sama
terkejutnya. Mereka hanya bisa diam melihat sang sutradara menggebrak meja
dengan gulungan naskah kemudian pergi ke ruangannya.
"Break tiga puluh menit!" Seru
pimpinan produksi. Para kru dan pemain segera membubarkan diri.
"Kau tidak apa-apa Maya?" Tanya Koji
cemas.
Maya menghela napas lelah seraya menggeleng.
Jelas saja dia tidak dalam kondisi baik. Memang siapa yang akan ‘baik-baik
saja’ setelah mendapat omelan sepanjang hari.
Midori segera menghampiri Maya dan memintanya
untuk duduk kemudian memberikan sebotol air mineral dingin.
“Ayahku memang keras tapi ku harap kau mengerti
sisi perfeksionisnya sebagai sutradara.” Kata Ayumi yang tiba-tiba sudah berada
di dekat kursi Maya bersama suaminya, Peter.
“Aku hanya tidak mengerti,” ucap Maya kemudian
setelah menghabiskan setengah botol air mineralnya, “apa menurutmu ada yang
salah dengan aktingku Ayumi?” Maya menyipitkan mata memandang sang sahabat yang
kini justru terkekeh senang.
Ayumi mengendikkan bahu, “Kau akan tahu sendiri
nanti dan jika saat itu tiba kau akan berterima kasih pada ayahku.” Ayumi
mengerlingkan sebelah matanya, “Allons, Peter!” (Ayo kita pergi, Peter)
Peter ikut tersenyum pada Maya seraya melambai,
“Enchanté Maya, au
revoir.” (Senang bertemu denganmu Maya, sampai jumpa)
Maya
hanya melambaikan tangannya tanpa mau peduli dengan apa yang dikatakan Peter.
Ayumi tampak semakin geli melihat raut wajah sahabatnya namun tetap
membiarkannya dan bergegas pergi dengan mengamit lengan Peter.
“Mereka
aneh.” Gumam Koji kemudian.
Maya
mengangguk setuju, “Ya, aneh.”
Midori
hanya bisa menggeleng dan dengan cekatan membereskan barang-barang Maya.
“Eh?
Kita mau kemana?” tanya Maya ketika perhatiannya teralihkan.
Midori
menautkan alisnya menatap Maya, “Anda tidak dengar instruksi Tuan Himekawa
tadi? Bukankah anda diliburkan selama dua hari?”
“I, iya
aku dengar,” jawab Maya menahan rasa kesalnya karena masih saja tidak mengerti
dimana letak kesalahannya, “tapi maksudku, kenapa kita harus pergi? Aku masih
ingin disini dan melihat pengambilan gambar yang lain.”
“Benar,
Maya kan masih bisa berada disini. Tuan Himekawa tidak menyuruhnya pergi.”
Sahut Koji yang juga setuju dengan perkataan Maya. Oh ya, jangan lupakan modus
di balik itu yang ingin terus melihat Maya dan jika beruntung berduaan
dengannya.
Midori
memandang kedua artis itu bergantian lalu menggeleng, “Tidak, anda harus
pulang. Saya memiliki jadwal latihan khusus untuk anda.” Tegasnya kemudian.
“Latihan
khusus?” tanya Koji dan Maya bersamaan.
Midori
mengangguk tanpa menghentikan aktivitasnya memasukkan barang-barang Maya ke
dalam tas. Terakhir, Maya hanya bisa menurut saat Midori membawanya pergi
dengan sebelumnya mengucapkan salam pada Koji. Masato sudah menunggu mereka di
tempat parkir.
“Semua
sudah siap?” tanya Midori.
“Sudah,”
jawab Masato mantap.
“Apanya
yang sudah siap?” tanya Maya bingung seraya masuk ke dalam mobil saat Masato
membuka pintu belakang.
“Latihan
anda tentu saja, apalagi?” jawab Midori dan lagi-lagi Maya hanya bisa menggaruk
kepalanya yang tidak gatal seraya menghela napas panjang.
***
Matahari
masih begitu cerah menerangi langit sore musim panas. Waktu sudah menunjukkan
pukul lima sore ketika sebuah sedan hitam berhenti di sebuah bangunan klasik di
tepi jalan. Seorang dengan mengenakan setelan hitam rapi keluar dari pintu
depan dan membukakan pintu belakang mobil, menampakkan dua sosok anggun dengan
balutan gaun putih. Ya, dengan masih mengerutkan kening Maya berdiri di depan
sebuah gedung yang dia kenali sebagai sebuah gereja, St Agnes' Episcopal Church, bersama Midori dan Masato.
Bangunan bernuansa coklat bata itu tampak lengang.
“Silakan
Nona,” Masato melambaikan tangannya dan Midori mengamit lengan kanan Maya tapi
sang gadis justru bergeming di tempatnya, mempertahankan ekspresi ‘aku tidak
mengerti dan tolong jelaskan padaku’.
Midori
tersenyum, mengerti apa yang dirasakan nonanya saat ini, “Anda akan mengerti,
nanti.”
Kerutan
di kening Maya semakain dalam, masih gagal memahami perkataan menejernya. Entah
demi apa sejak tadi dirinya menurut saja saat Midori menyuruhnya melakukan
banyak hal yang menurutnya di luar logika. Maya mengamati dirinya sendiri.
Berdiri dengan balutan gaun panjang berwarna putih dengan rambut yang dijalin
dengan rapi, hiasan bunga di setiap jalinan rambutnya dan jangan lupakan buket
bunga yang sekarang tengah di genggamnya. Maya tidak bodoh untuk tahu seperti
apa rupanya saat ini. Hanya saja alasan yang dibuat Midori sungguh tidak masuk
akal. Menyeretnya ke salon, meriasnya bak seorang pengantin lalu membawanya ke
gereja, dengan alasan untuk latihan peran? Mendalami perasaan cinta pada
kekasih? Demi Dewa di seluruh Jepang yang saat ini sedang melihatnya, apakah
Midori sedang mengerjainya? Tapi melihat keseriusan di wajah Midori juga Masato
yang juga turut andil dalam semua kejadian aneh itu, Maya menepis dugaannya.
Bukankah mereka berdua adalah orang-orang yang professional dalam bidangnya?
Rasanya aneh kalau mereka ingin mengerjai Maya.
“Nona?
Ayo, kita hampir terlambat.” Ucap Midori yang membuyarkan perenungan Maya.
Sekali
lagi Maya hanya bisa menuruti menejernya yang kini tengah berjalan disampingnya
dan membantunya menaiki tangga gereja. Suasana di koridor gereja masih sama
lengangnya, cahaya lampu berwarna jingga membuat suasana terlihat seperti
temaram senja meski di luar matahari masih bersinar terang.
Midori
dan Maya berhenti di depan sebuah pintu ganda besar berwarna coklat. Seorang
pria yang muncul dari koridor samping menghampiri mereka dan sukses membuat
Maya menganga.
“Lama
tak bertemu Nona Maya,” sebuah senyum tersungging di wajah tampan sang pria.
“Kak
Hijiri?!” Maya memekik perlahan. Sudah lebih dari satu bulan dirinya tidak
bertemu dengan Hijiri dan sekarang sang pengawal itu muncul dengan setelan rapi
berwarna biru tua di tengah semua keanehan yang masih membuat kepala Maya penuh
dengan tanda tanya.
Tak ada
jawaban dari Hijiri untuk menjelaskan pada Maya, dia justru mengulurkan
tangannya untuk meminta tangan Maya yang di genggam oleh Midori. Dengan senyum,
Midori menyerahkan tangan Maya yang terbalut sarung tangan putih kepada Hijiri.
“Eh?
Apalagi ini?”
“Sstt,”
Hijiri memberi kode dengan meletakkan telunjuk di bibirnya dan meminta Maya
berdiri tegak di sampingnya.
Midori
dan Masato membuka pintu ganda bersamaan dan pemandangan yang tersaji di depan
Maya semakin sukses membuat gadis itu terbelalak dengan tidak anggunnya,
lupakan dengan dirinya yang sudah mengenakan gaun cantik bak pengantin.
“A-apa
ini?” Maya mendesis tak percaya begitu melihat wajah-wajah yang familiar
menatapnya. Kaki Maya seakan tak bertulang, beruntung Hijiri segera mengamit
pinggul rampingnya dan membantunya tetap tegak. Karpet ungu terbentang dari
tempatnya berdiri sampai ke altar yang Maya duga sebagai, ahhh…altar
pernikahan, Masumi-nya berdiri di sana, menatapnya. Dengan balutan tuxedo hitam
yang menawan, sang direktur utama itu berdiri menunggu Maya dengan senyum
ribuan gigawatt nya. Mimpikah? Maya merasa semua yang ada di hadapannya saat
ini adalah mimpi, terlalu indah untuk menjadi kenyataan.
Dentingan
piano menyadarkan Maya dari kekagumannya, reflek matanya menyapu seluruh
ruangan. Di sebelah kanan altar berdiri Rei dengan gaun peach yang manis, Maya
mengernyit, tidak biasanya. Lalu matanya menatap sosok lain yang taka sing,
hhmm, Ayumi dan suaminya, lagi-lagi Maya mengernyit karena Tuan Himekawa dan
istrinya Utako juga ada di sana.
Maya
kemudian memandang sebelah kiri altar. Ada nona Mizuki yang juga berdandan
cantik dengan gaun berwarna merah marun. Disebelahnya berdiri…oh tidak…Koji?
Maya hampir menjerit. Pemuda itu tersenyum meski tampak begitu, dipaksakan.
Tamu lain yang membuatnya heran adalah Tuan Kuronuma, disampingnya ada dua
orang pria berpakaian rapi yang tidak Maya kenal.
Sekali
lagi Maya mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tidak ada yang
mengganggunya, seolah semua orang mengerti dengan apa yang sedang di lakukan
gadis itu, menikmati kejutan yang dibuat oleh calon suaminya. Siapa lagi kalau
bukan Masumi Hayami. Ruangan yang dihias cantik dengan banyak rangkaian bunga
mawar ungu itu membuat Maya tenggelam dalam kekagumannya.
Dentingan
piano berhenti sesaat dan kembali mengalunkan nada-nada indah dengan lagu yang
berbeda. Hijiri tahu itu sudah saatnya, Masumi tampak sudah tak sabar menunggu
di altar.
“Nona,
sudah waktunya,” bisiknya yang membuat Maya terkesiap dan merasa gugup saat
tahu apa yang akan dihadapinya. Masumi, menunggu Maya di altar.
Perlahan
Maya mengimbangi langkah Hijiri yang membimbingnya masuk ke dalam gereja.
Semakin dekat langkahnya menuju altar, Maya merasa semakin takut, takut
terbangun dari mimpi indahnya. Semua yang ada di hadapannya saat ini masih
sulit dipercaya Maya sebagai sebuah kenyataan.
Masumi
menuruni tiga anak tangga untuk menjemput Maya, tangannya terulur begitu Hijiri
menyerahkan tangan mungil berbalut sarung tangan satin berwarna putih.
“Ma,
Masumi,”
Masumi
tersenyum dan Maya kembali hanya bisa menurut saat Masumi membawanya naik ke
altar.
“I, ini
bukan mimpi kan?” lirih Maya dengan suara bergetar. Lengan Masumi yang
melingkar di pinggangnya membuat Maya semakin menyandarkan tubuhnya pada dada
bidang Masumi.
“Kalaupun
mimpi,aku tidak akan membangunkanmu. Kita akan bersama selamanya.” Bisik Masumi
lembut.
Sekarang,
Maya dan Masumi sudah berdiri di depan altar dan tanpa mereka sadari seorang
pemuda tengah mengepalkan erat tangannya, menahan emosinya meledak. Kali ini
dia harus benar-benar menyerah.
“Tuan
Masumi Hayami, Nona Maya Kitajima, apa kalian sudah siap?” tanya sang pastor.
Maya
menatap Masumi seraya menegakkan tubuhnya, membei sedikit jarak antara dirinya
dan, yah, calon suaminya.
“Kami
siap Pastor.” Masumi yang menjawab meski matanya masih menatap Maya.
“Baiklah.”
Kata sang pastor yang akhirnya memulai sakramen pernikahan itu.
Acara
berlangsung khidmat dan Maya sekuat tenaga menahan air matanya jatuh sementara
Masumi terus menggenggam lembut tangan mungil calon istrinya. Hingga saatnya
kedua mempelai mengucapkan janji pernikahan, Masumi dan Maya kembali saling
berhadapan.
"Tuan
Masumi Hayami, bersediakah anda, dihadapan Tuhan dan disaksikan oleh sidang
jemaat ini, berjanji untuk mencintai dan menghargai, baik dalam keadaan sakit
maupun sehat, di dalam susah maupun senang, wanita di sebelah kanan anda yang
sekarang sedang anda pegang? Bersedia untuk mengambil dia sebagai istri yang
sah, selama masa hidup anda berdua? Apakah anda berjanji untuk menempatkan dia
sebagai yang utama dari segala hal, menjadi suami yang baik dan beriman,
menjadi tempat bergantung bagi dia, dan hanya bagi dia, selama-lamanya hingga
akhir hidup anda? Bersediakah anda?"
Mata Masumi
menatap Maya lembut, "Saya bersedia," jawabnya tanpa ragu.
Pastor
mengulang pertanyaan yang sama pada Maya. Gadis itu masih tetap diam sampai
pastor selesai bicara.
"Bersediakah
anda?" Pastor mengulangi pertanyaannya.
Masumi
meremas jemari Maya dengan khawatir. Maya masih tampak bingung tapi beberapa
saat kemudian dia menghela napas panjang.
"Saya
bersedia,"
Mata
Masumi berkedip dan berbinar terang. Samar-samar terdengar desahan lega dari
barisan jemaat.
Pastor
kembali bertanya pada Masumi, "Saudara Masumi, apakah anda memiliki
sesuatu yang anda bawa sebagai bukti kasih dan sayang anda untuk diberikan
kepada pasangan anda, sebuah tanda bagi perjanjian yang kudus ini?"
"Ya
saya membawa sebuah cincin," jawab Masumi tenang.
"Pada
waktu yang suci ini, cincin sebuah simbol dari tindakan anda, sebuah kesetiaan
yang tiada batas. Cincin ini berbentuk lingkaran, tidak memiliki awal dan tidak
memiliki akhir; sehingga sampai masa tua anda, hingga kematian dan sampai
selamanya anda harus mempertahankan janji yang tidak dapat digugat ini yang
telah ditandai dan dimateraikan oleh sebuah cincin. Maka tempatkanlah cincin
ini pada jari pasangan anda dan ucapkanlah janji setia anda."
Maya
kembali menyadari sekelilingnya begitu melihat Hijiri dan Rei ternyata berdiri
di dekat mereka dengan masing-masing membawa kotak kecil berwarna ungu.
Jantung
Maya kembali berdegub kencang saat Masumi menatap jauh ke dalam matanya dengan
cincin di tangannya. Masumi menyematkan cincin itu di jari manis Maya,
mengucapkan janji pernikahannya.
"Aku,
Masumi Hayami, mengambilmu, Maya Kitajima, sebagai istriku yang sah, untuk
memiliki dan menjagamu dari hari ini hingga seterusnya. Baik dalam keadaan kaya
maupun miskin, dalam kondisi susah maupun senang, untuk bergantung kepadamu dan
hanya kepadamu, selama kita masih hidup. Dengan cincin ini aku menikahimu,
dengan kasih yang setia, di dalam nama Tuhan, memberkati sampai selama-lamanya.
Amin."
Pastor
kembali bertanya hal yang sama pada Maya dan setelah Maya menjawab, Rei
memberikan cincin milik Masumi. Tangan Maya gemetar saat memegang cincin
platinum dengan ukiran indah di sekelilingnya dan ukiran nama mereka berdua di
sisi bagian dalamnya, Masumi-Maya. Tidak hanya tangan Maya, suaranya juga bergetar
ketika aku mengucapkan janji pernikahan.
"Aku...Maya
Kitajima, menerimamu, Masumi Hayami...," Maya berhenti dan menatap Masumi
yang tegang menunggu, kerutan dalam tergambar di dahinya. Tenggorokan Maya
terasa panas, banyak hal tiba-tiba berputar di dalam kepalanya.
Apakah ini benar? Bisakah aku
bersamanya? Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya nanti?
"Nona
Kitajima? Anda baik-baik saja?" Tanya Pastor pada Maya.
Maya
segera tersadar, "I, iya Pastor," jawabnya terbata. Maya tersentak
saat Masumi mengeratkan genggaman tangannya. Matanya berkata bahwa ‘semua akan
baik-baik saja’.
Maya
menghela napas panjang. Ya, tidak
seharusnya aku berpikir berlebihan.
“aku
mencintaimu Maya, percayalah.” Lirih Masumi yang langsung di sambut oleh senyum
Maya.
Gadis
itu mengangguk, matanya kembali fokus pada tangan Masumi yang menggenggamnya.
Diapun memasangkan cincin di jari manis Masumi seraya mengucapkan janji
pernikahannya.
"Aku,
Maya Kitajima, menerimamu, Masumi Hayami, sebagai suamiku yang sah, untuk
memiliki dan menjaga dari hari ini hingga seterusnya, baik dalam keadaan kaya
maupun miskin, dalam kondisi susah maupun senang-," Maya mulai terisak
atas apa yang diucapkannya, air mata jatuh satu persatu ke pipinya.
Masumi
mengeratkan genggamannya seolah ingin mentransfer kekuatannya untukku bisa
menyelesaikan semua ini. Maya kembali mengumpulkan kekuatan dan keberaniannya
untuk mengucapkan janji pernikahannya.
"Untuk
bergantung kepadamu dan hanya kepadamu, selama kita hidup berdua.... Dengan
cincin ini aku menikahimu, dengan kasih yang setia, dalam nama Tuhan. Amin.”
Masumi
sama sekali tidak bisa menutupi kebahagiaan yang kini terpancar di wajahnya.
Air mata
masih berderai ketika Pastor kembali berbicara, "Dan sekarang, sebagai
pastor dari jemaat yang terkasih ini. Dihadapan Tuhan dan disaksikan oleh
jemaat, saya mengumumkan anda sebagai suami dan istri, bukan lagi dua melainkan
satu, satu dalam perhatian, dalam takdir, dalam kasih, dan dalam hidup, sampai
selamanya."
Masumi
bahkan sudah menyeka sudut matanya saat pastor selesai bicara. Maya tahu
Masumi, pria yang kini resmi menjadi suaminya, hampir menangis. Menangis karena
bahagia.
"Anda
bisa mencium istri anda," lanjut Pastor.
Dan Maya
merasakan jantungnya hampir tenggelam. Matanya menyipit memandang Masumi yang justru
tampak, eh? Bersemangat? Entahlah, memang ini bukan ciuman pertamnya tapi Maya
belum pernah melakukannya di depan umum dan sekarang? Ahhh, Maya merasa saat
ini lebih baik berlari daripada harus…terlambat.
Sesuatu
yang hangat sudah menyentuh bibir merahnya dan Maya menyadari apa yang terjadi
saat ini. Masumi sudah menciumnya, sementara Maya membelalak terkejut. Maya
bisa mendengar Rei dan Hijiri yang terkikik menahan tawa. Dengan segera Maya
mendorong tubuh Masumi, segera saja suara tawa memenuhi ruangan itu. Suasana
syahdu yang tadi tercipta segera berubah menjadi gelak tawa. Wajah Maya sudah
semerah kepiting rebus dan Masumi dengan senang hati menyembunyikan wajah yang
tampak menggemaskan itu ke dalam pelukannya.
“Aku
akan membalasmu.” Ancam Maya dan Masumi ikut tergelak karenanya.
“Dengan
senang hati sayang,” kata Masumi di sela tawanya.
***
Sebuah meja bulat besar tertata apik di bawah
lampu kristal besar di private room, di sebuah restoran ternama di Kyoto.
Sepasang pengantin duduk berdampingan dengan sepuluh orang tamu yang
mengelilingi mereka. Siapa lagi kalau bukan pasangan
Hayami yang berbahagia. Lupakan Maya yang sempat marah karena semua rencana
Masumi. Kini dia benar-benar menikmati pesta mininya yang juga sudah diatur
dengan luar biasa oleh Hijiri dan Mizuki. Makan malam yang hangat dengan
hidangan lezat, diselingi dengan berbagai cerita mengenai rencana gila Masumi,
sungguh membuat Maya bahagia dan tidak berhenti merona.
"Andai Tuan Masumi tadi melihat bagaimana
wajah Nyonya Maya saat dimarahi Tuan Himekawa." Kata Midori di tengah
percakapan mereka yang langsung di sambut oleh tawa semua orang kecuali Maya
tentunya.
"Jika bukan karena Tuan Masumi yang
memintaku sendiri, aku tidak akan mau melakukan hal konyol seperti itu. Maafkan
aku Kitajima, ah, maaf Nyonya Hayami." Tuan Himekawa menimpali seraya
mengangkat gelas anggurnya dan mengerlingkan matanya pada Maya. Kembali suara
tawa memenuhi ruangan.
"Sudah ku katakan kalau kau akhirnya akan
berterima kasih pada ayahku kan Maya." Goda Ayumi.
"Ah iya," Maya menunduk malu.
"Ini semua salahmu," Maya berbisik
pada Masumi.
"Sudah ku bilang kalau aku sudah tidak
bisa menahannya lagi. Salahkan dirimu yang membuatku jadi gila seperti
ini." Masumi balas berbisik sambil menahan kekehannya.
Ya, Masumi sudah menceritakan alasan
kecemburuannya yang menyebabkan dirinya nekat untuk melakukan semua rencana
pernikahan mendadak itu. Tentu saja hanya pada Maya, yang lain hanya tahu kalau
sang duda Hayami itu sudah begitu tergila-gila pada sang Bidadari Merah hingga
kehilangan akal sehatnya.
Lalu bagaimana dengan keterlibatan Tuan
Himekawa dan istrinya, Utako? Ya, anggap saja Ayumi kali ini sedang terkena
sindrom gosip tingkat akut yang membuatnya menceritakan rahasia rival abadinya
itu. Dan kehadiran Koji adalah rencana utama dari semua ini. Menunjukkan bahwa
Masumi Hayami keluar sebagai pemenang, tentu saja dengan dalih bahwa Koji
adalah sahabat Maya, sama seperti Rei. Bukankah rencana seorang Masumi begitu
sempurna? Jangan lupakan juga para petugas catatan sipil yang sudah siap di
tempat untuk mencatatkan pernikahan mereka secara resmi. Maya bahkan tak sanggup
berkomentar lagi saat dirinya menandatangani akta pernikahan dan menjadikan
dirinya resmi menyandang status sebagai istri Hayami. Entah bagaimana Masumi
dan Midori juga Mizuki serta Hijiri, ah, ditambah Masato menyiapkan semua ini.
Maya hanya bisa berterima kasih dan menangis pada akhirnya.
Hijiri tiba-tiba mengangkat gelasnya saat semua
orang sudah menghabiskan makanan yang tersaji di piring mereka.
"Sekali lagi. Untuk kebahagiaan Tuan dan
Nyonya Hayami." Seru Hijiri dan semua orang segera meraih gelas kristal
masing-masing, mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Semoga bahagia." Ucap mereka
serempak.
"Terima kasih," Maya mengucap penuh
haru. Sungguh tak pernah terpikirkan hal ini akan terjadi padanya. Betatapun
hal berat mungkin sudah menunggunya di depan sana tapi Maya bersyukur dia masih
memiliki hari ini sebagai seorang istri Masumi bersama orang-orang yang
menyayanginya.
Koji tersenyum seraya menyesap anggur dari
gelas kristalnya.
"Ku harap kau menerima hal ini dengan
besar hati Koji," bisik Rei yang duduk di sebelah Koji.
Pemuda itu terkekeh pelan dan menyesap lagi
anggurnya, "Aku sudah kalah sejak awal Rei. Tidak ada alasan bagiku untuk
sakit hati."
Giliran Rei yang terkekeh, "Ya, ada
benarnya juga. Ku harap kau juga bisa menemukan kebahagiaan," Rei
mengangkat gelasnya untuk Koji, "seperti mereka." Ucapnya dan saat
Koji ikut mengangkat gelasnya, mendentingkan ke dua sisinya bersamaan, keduanya
tertawa bersamaan.
Tanpa mereka sadari Maya memperhatikan
interaksi kedua sahabatnya itu dan menyunggingkan senyum.
"Jangan bilang kau menyesal menikah
denganku dan berpikir untuk bisa kembali pada Ko-, aww!" Masumi memekik
pelan saat Maya mencubit lengannya karena ocehan tak bermakna. Ternyata Masumi
juga tengah memperhatikan Maya yang tampak senang melihat Koji dan Rei. Jelas
membuatnya bersemangat untuk menggoda istrinya.
"Bukan waktunya untuk cemburu Tuan Hayami.
Dewasalah, kau ini." Gerutu Maya.
"Kalau begitu jangan membuatku cemburu
dengan terus melihatnya. Setidaknya padanglah aku, suamimu." Balas Masumi.
Maya kembali mencibir sifat kekanakan Masumi -yang
entah kenapa selalu naik intensitasnya jika bersama Maya- seraya mengambil
sebutir anggur dari piringnya dan memasukkannya dengan paksa ke mulut suaminya.
Masumi tersenyum geli melihatnya istrinya kesal, semakin menggemaskan saja.
***
"Aku
doakan kau selalu bahagia. Jaga dirimu." Rei memberi Maya sebuah pelukan
hangat sebelum berpisah dengan sahabatnya itu.
"Terima
kasih Rei." Jawab Maya yang kembali mulai terisak.
"Hei,
ini hari bahagiamu, jangan terus menerus menangis." Kata Rei seraya mengusap
air mata di pipi Maya.
"Matamu
bisa bengkak kalau terus menerus menangis Maya." Koji yang berdiri di
samping Rei ikut menimpali dan Maya jadi tersenyum di buatnya.
Koji
mengulurkan tangan, memberi ucapan bahagia dan salam perpisahan pada Masumi yang
dibalas dengan cukup ramah oleh sang rival -ah, bagi Masumi predikat itu tidak
akan pernah hilang-. Namun saat Koji mengulurkan tangannya pada Maya, gadis,
err, Nyonya muda itu sudah menjatuhkan dirinya ke pelukan Koji. Mau tak mau
Koji membalas pelukan itu dengan hangat, mengabaikan Masumi yang tampak tidak
suka meski berusaha untuk tetap tenang.
"Semoga
kau bahagia." Ucap Koji lirih seraya membelai lembut kepala Maya.
"Uhm,
terima kasih." Balas Maya.
Sadar
dirinya tak boleh berlama-lama memeluk milik orang lain, Koji pun segera
menjauhkan dirinya dari Maya. Hampir saja tawa Koji meledak saat Masumi dengan
cepat menarik Maya dan melingkarkan lengannya di pinggang mungil istrinya
dengan begitu posesif. Bahkan seorang Masumi bisa begitu impulsif jika menyangkut
Maya. Hijiri dan Mizuki hanya bisa menggeleng geli melihat sikap kekanakan
Masumi. Pemandangan langka itu tentu saja membuat keluarga Himekawa ikut
menahan tawa.
Akhirnya,
satu persatu dari mereka mengucapkan salam perpisahan dan meninggalkan restoran.
Hanya tinggal Mizuki dan Hijiri yang berdiri di dekat pintu setelah mengucapkan
terima kasih dan meminta Midori juga Masato mengatar tamu pulang.
Kening
Maya berkerut begitu suasana menjadi sepi dan otaknya menyadari sesuatu.
"Ada
apa?" Tanya Masumi ketika menangkap kecemasan di wajah istrinya.
"Setelah
ini apa?" Maya balik bertanya dengan polosnya.
Masumi
menyeringai geli dengan pertanyaan istrinya, "Menurutmu?"
Maya
menggeleng, tak mengerti. Matanya menatap bergantian pada Masumi juga pada
Mizuki dan Hijiri yang tampak geli memandangnya.
Dengan
satu sentakan Masumi menarik Maya hingga sang istri jatuh ke dalam pelukannya.
"Masumiii!
Lepaskan aku!" Maya meronta karena Masumi justru melingkarkan kedua
lengannya dengan erat di pinggangnya dan mengangkat tubuhnya, seolah dirinya
adalah boneka mainan. Wajah Maya merona dan sesekali melirik pada Hijiri juga
Mizuki.
"Kenapa
Nyonya? Kenapa wajahmu memerah seperti itu?" Goda Masumi seraya
menyandarkan keningnya di kening Maya hingga hidung mereka bersentuhan.
"Masumi
kau membuatku malu." Lirih Maya dan matanya berkedip saat Masumi tampak
kabur dalam jarak pandang sedekat itu.
"Kenapa
malu? Kau istriku." Goda Masumi lagi.
Maya
memukul bahu Masumi dengan kepalan tangan kecilnya, "Turunkan aku, kita
pergi."
"Pergi?"
Masumi menyeringai.
"Jangan
menggodaku Masumi, setidaknya tidak disini." Ucap Maya kesal tapi semakin
melirih di akhir
kalimat.
Masumi
menurunkan istrinya dan tergelak sendiri melihat Maya.
"Baiklah,
memang sudah saatnya kita pergi. Lagipula sepertinya hari ini aku sudah terlalu
banyak memberi hiburan pada Hijiri dan Mizuki." Kata Masumi seraya melirik
kedua anak buah kepercayaannya itu.
"Anda
sudah terlalu banyak merepotkan kami Tuan Masumi. Sudah selayaknya anda memberi
kami hiburan." Sanggah Mizuki seraya membenarkan letak kaca matanya.
"Ah
ya, maaf soal itu. Terima kasih untuk semuanya dan sebaiknya aku pergi
sekarang, sepertinya istriku sudah tidak sabar." Dan dengan sekali angkat,
Maya sudah berada di atas ke dua lengan Masumi. Istrinya itu memekik keras
karena terkejut.
"Ya,
terlihat jelas siapa yang sudah tidak sabar Tuan." Ucap Hijiri seraya
membukakan pintu. Mizuki mengikuti Hijiri dan Masumi berjalan di belakang
mereka.
Maya
panik, keluar dari ruangan berarti adalah.... Kepala Maya menggeleng keras.
"Masumi!
Lepaskan aku! Kau bodoh ya, bagaimana kalau ada yang lihat!" Maya meronta
dalam gendongan Masumi dan matanya dengan gelisah melihat sekeliling. Eh?!
"Kenapa
sayang?" Goda Masumi seraya tersenyum.
Maya
baru menyadari sekelilingnya. Mereka berjalan di koridor panjang yang...sepi.
Hijiri berbelok di ujung koridor yang ternyata menuju pintu lift. Maya melihat
pintu lift terbuka dan mereka masuk ke dalam.
"Kita
mau kemana?" Tanya Maya yang sudah tenang. Sekarang bahkan tangannya sudah
melingkar di leher Masumi dan membiarkan saja suaminya itu membawanya.
"Kejutan,"
bisik Masumi di telinga Maya dan sukses membuat Maya cemberut.
Hijiri
dan Mizuki tetap berdiri membelakangi Maya dan Masumi. Membiarkan saja sepasang
pengantin yang tengah merasa bahagia itu. Angka lift menunjukkan lantai paling
atas dan tak lama kemudian suara ping keras terdengar seiiring dengan pintu
yang terbuka lebar. Mata Maya membulat seketika.
"Selamat
berlibur Tuan, Nyonya!" Hijiri berteriak, suaranya bersaing dengan deru
suara helikopter yang sudah siap lepas landas.
Tanpa
sadar tangan Maya mengerat di leher Masumi, membuat sang suami menatapnya.
"Tenang
sayang," bisik Masumi yang hanya terdengar samar di telinga Maya. Namun
Masumi yang mengeratkan pelukannya di tubuh Maya mampu membuatnya sedikit lebih
tenang.
Masumi
menganggukkan kepala seraya meneriakkan kata terima kasih pada Hijiri dan
Mizuki sedang Maya hanya bisa memberikan senyum terbaiknya dengan wajah merona.
Dengan cekatan Masumi membawa Maya masuk ke dalam helikopter, mendudukkannya di
kursi penumpang dan memasangkan sabuk pengaman dengan hati-hati.
"Kita
berangkat." Perintah Masumi setelah dia selesai dengan sabuk pengamannya
sendiri.
"Baik
Tuan." Jawab sang pilot.
Maya
terdiam mendengar semua itu dari headphone di kepalanya.
Deru
mesin semakin keras terdengar seiring dengan suara pilot yang meminta ijin
terbang menggunakan kode-kode yang tidak Maya mengerti. Perhatian Maya kemudian
teralih saat merasakan tangan hangat yang menggenggamnya lembut.
"Aku
mencintaimu."
Maya tersenyum
membaca gerakan bibir Masumi dan helikopter terbang di antara langit malam
penuh bintang.
***
***
>>Bersambung<<
**Bonus**
Mizuki
memandang helikopter yang semakin mengecil, sebuah senyum simpul tersungging di
bibirnya. Hal itu tentu saja tidak luput dari perhatian Hijiri, sang wakil
direktur, yang sejak tadi berdiri di sebelahnya.
"Ah,
ternyata kau memiliki senyum yang manis Saeko."
Deg!
Pernyataan itu sontak membuat Mizuki tersentak.
"A,
apa maksud anda Tuan Hijiri," jawab Mizuki tanpa melihat pada tuan yang
diajaknya bicara. Entah kenapa berdua bersama Hijiri selalu sukses membuatnya
tergagap dan mati kutu.
"Jangan
begitu Saeko. Aku sudah mencoba mencairkan suasana dengan memanggil namamu,
tidakkah seharusnya kau menanggalkan sikap formalmu itu? Setidaknya untuk saat
ini, kita tidak sedang dikantor." Kata Hijiri dengan masih menatap sang
sekretaris dan mengamati setiap lekuk wajah itu dari samping.
Mizuki
memberanikan diri untuk menoleh, menatap Hijiri seraya membulatkan matanya,
kesal.
"Jangan menggodaku." Desis Mizuki, benar-benar menanggalkan sikap formal seperti apa yang Hijiri perintahkan. Tubuh ramping semampai itu tiba-tiba berputar dan dengan langkah tergesa hendak meninggalkan Hijiri namun rupanya hal itu tak terjadi. Sebuah cekalan di pergelangan tangan Mizuki menghentikan langkahnya. Wanita cantik itu sontak merasa de javu dengan apa yang terjadi, terbayang sikap Hijiri ketika mereka tengah di kantor Masumi beberapa hari yang lalu.
"Jangan menggodaku." Desis Mizuki, benar-benar menanggalkan sikap formal seperti apa yang Hijiri perintahkan. Tubuh ramping semampai itu tiba-tiba berputar dan dengan langkah tergesa hendak meninggalkan Hijiri namun rupanya hal itu tak terjadi. Sebuah cekalan di pergelangan tangan Mizuki menghentikan langkahnya. Wanita cantik itu sontak merasa de javu dengan apa yang terjadi, terbayang sikap Hijiri ketika mereka tengah di kantor Masumi beberapa hari yang lalu.
"Lepaskan!"
Kali ini Mizuki menyentakkan tangannya dan Hijiri segera melepaskannya,
"Apa maksud anda Tuan Hijiri!" Bentak Mizuki lagi, kembali dengan
bahasa formalnya, "Saya menghormati anda sebagai atasan saya dan saya
mohon jangan permainkan saya seolah saya adalah-," Mizuki menelan ludahnya
sendiri ketika melihat ekspresi keras lawan bicaranya.
Hening.
Keduanya terdiam. Mizuki tak lagi berani menatap mata Hijiri dan lebih memilih
untuk memandang sepatunya yang sepertinya lebih menarik dengan warna merah
marun mengkilap.
"Apa
aku membuatmu merasa tidak nyaman?" Hijiri bertanya dengan suara lembut.
"Hhmm,"
Mizuki hanya menggumam lirih. Anehnya rasa kesal yang tadi memenuhi hatinya
kini hilang entah kemana, digantikan dengan debaran jantung yang tidak
beraturan, membuatnya gelisah dan semakin tidak mau mengangkat kepalanya.
Namun
ternyata pikiran pria yang ada dihadapannya itu tidak sejalan dengannya. Mizuki
merasakan jemari panjang menyentuh dagunya dan mengangkat wajahnya perlahan.
Kedua mata saling bertukar pandang dan jantung Mizuki seakan ingin mendesak
keluar begitu dirinya melihat senyum manis di wajah Hijiri. Dalam jarak sedekat
itu, Mizuki bisa melihat jelas ketampanan sang wakil direktur yang selama ini
ternyata terlewatkan dari mata jelinya. Ah, tolong diingat bahwa Mizuki tidak
suka mengamati pria tampan. Bekerja bersama Masumi selama belasan tahun membuatnya
memiliki keyakinan bahwa lelaki tampan itu kebanyakan aneh, menyebalkan dan
dalam kasus Masumi 'sering merepotkan'.
"Maaf."
Satu
kata itu kembali menyadarkan Mizuki akan apa yang terjadi. Namun, belum sempat
dirinya mengerti akan arti dari kata maaf itu, Mizuki merasakan sesuatu yang
hangat menyentuh bibirnya. Mengirimkan getaran aneh ke sekujur tubuhnya.
Lupakan tentang dramatisasi sengat listrik karena Mizuki belum pernah sekalipun
tersengat listrik. Hanya sebuah rasa aneh yang sepertinya, ehm, menenggelamkannya
dan Mizuki tidak tahu tahu lagi apa yang terjadi karena matanya kemudian
terpejam ketika bibirnya merasakan kelembutan yang semakin memabukkan.
Mizuki
sadar kehangatan menjauhi bibirnya dan perlahan matanya membuka seraya mengatur
napasnya yang terasa semakin pendek.
"Aku
jatuh cinta padamu,"
Desir
angin bahkan terasa bagai badai untuk Mizuki saat ini. Ciuman pertamanya...di
curi dan sekarang...pernyataan cinta yang bagai petir menggelegar di
telinganya.
***
***
Saat
yang sama di pelataran parkir restoran. Seorang gadis manis dengan gaun peach
dan pemuda tampan dengan setelan resmi tampak berdiri menatap langit dengan
tubuh bersandar pada mobil sedan. Tidak ada percakapan di antara mereka sampai
objek yang mereka amati sejak tadi hilang sempurna dari pandangan mata
keduanya, sebuah helikopter.
"Dia
sudah pergi." Sang pemuda tampan berbicara namun lebih seperti bisikan
yang tidak ingin di dengar oleh siapapun meski nyatanya sang gadis yang berdiri
di sebelahnya bisa mendengar.
Sang
gadis menoleh dan mengamati wajah pemuda tampan yang sudah lama di kenalnya
itu. Yuu Sakurakoji, aktor papan atas yang digandrungi kebanyakan gadis Jepang.
Entah kenapa kali ini sang gadis merasa begitu bodoh karena tidak menyadari
pesona sang aktor meski mereka sudah lama saling kenal. Kedekatannya dengan
Maya, sahabatnya, pastilah membuat dirinya enggan untuk mengenal sosok itu
lebih jauh. Sebuah kerutan tercipta di kening ketika gadis itu memikirkan
betapa beruntungnya Maya yang notabene gadis mungil dan ceroboh namun bisa
membuat banyak kaum adam bertekuk lutut padanya. Sang gadis tanpa sadar tertawa
dengan pemikirannya.
"Kau
menertawakanku Rei?" Koji menatap sang gadis yang tertawa manis
disebelahnya, tawa yang jarang sekali dilihatnya. Ya, Rei selalu bersikap
seperti seorang ibu jika bersama Maya, alhasil Koji lebih sering mendengar
petuah-petuah atau bahkan omelan dari gadis yang biasanya justru terlihat
tampan itu.
"Tidak,"
jawab Rei seraya menggeleng dan menghentikan tawanya.
Koji
terpaku saat mata almond Rei menatapnya, ini pertama kalinya dia melihat Rei
dalam jarak sedekat ini. Terlebih melihat Rei dengan balutan gaun, itu...ehm,
cukup membuat Koji terpesona dengan sosok manis dihadapannya itu.
"Kenapa?
Apa kau tersinggung? Aku tidak menertawakanmu," jelas Rei kemudian yang
merasa aneh dengan pandangan Koji padanya.
Koji
tersenyum dan segera mengalihkan pandangannya, kembali menatap langit di
atasnya, menguntai jejak dimana gadis yang dicintainya telah pergi untuk
mendapatkan kebahagiaan sejatinya, tanpanya.
"Hei,
mau sampai kapan kau memandangi langit? Ini sudah hampir tengah malam."
Rei menepuk lembut bahu Koji.
Koji
menghela napas panjang, "Ya kau benar Rei, sudah waktunya pulang."
Diapun menoleh pada gadis yang masih berdiri di sebelahnya, "Maaf jadi
membuatmu harus menunggui pemuda patah hati ini."
Rei
langsung tergelak mendengarnya, pasalnya ekspresi Koji sama sekali tidak
menunjukkan hal itu. Koji sepertinya sudah benar-benar merelakan Maya untuk
bahagia bersama pilihannya.
Dengan
senyum simpul Koji membukakan pintu mobil untuk Rei dan mempersilakan gadis itu
masuk. Dengan segera dia berjalan memutari mobil dan duduk di belakang kemudi.
Rei
mengamati Koji yang kini tengah menyalakan mesin mobil.
"Koji,
apa kau suka kopi?" Tanya Rei tiba-tiba.
Kedua
tangan Koji bersandar pada kemudi, diapun menoleh pada Rei, "Ya, aku suka,
kenapa?"
Seketika
Rei tersenyum, entah kenapa dia tiba-tiba memiliki ide ini, "Besok aku akan
kembali ke Tokyo. Sebelum pulang bagaimana kalau kita minum kopi di cafe yang
ada di depan hotel tempatku menginap? Ku dengar coffelatte di sana enak."
Sejenak
Koji menatap bingung lawan bicaranya namun beberapa saat kemudian sudut
bibirnya tertarik menjadi sebuah senyum, "Aku syuting pukul sebelas siang,
aku rasa ada waktu untuk sejenak bersantai, denganmu." Koji menekan pedal
gas dengan kakinya dan mobil mulai melaju, "dan...aku lebih suka expresso
daripada coffelatte." Ucapnya tanpa menatap Rei dan entah kenapa keduanya
kembali tersenyum bersamaan meski tak lagi saling pandang.
***
27 Comments
Met malam minggu MM Lover
ReplyDeleteuda cepet kan ini apdetnya, hahahaha
gimana kurang manis ga?
kalo kurang manis tambahkan gula sendiri sesuai selera ya XD
Bagian terrrrrmanisssss MM nya next chap ya, hayo siapa yang mau tebak...hehehe
udah ah...happy reading semuanya
jangan lupa komennya
arigatoooooo
big hug...muahhhhh
Manis ko endingnya. Suka banget. Tapi emang kurang adegan "the first night"nya. 💏 hehe..😆😆
ReplyDeleteWaah, bener-bener kejutan. Ga sabar nunggu kejutan berikutnya. Pasti lebih seruuuu hehehe. Akhirnya aa, happy ending.
ReplyDeleteBonusnya jg bikin penasaran, bikin cerita sendiri dong mbak Agnes.
Wahahaha.....seandainya di komik sebenarnya masumi seberani itu.
ReplyDeleteWaaaawwww....klw rencana nya kyk gini sih mauuu, oke masumi.....monggo lanjut mba....
ReplyDeleteYang ngarepin first night di next chap ayo angkat tangan tinggi2...tapi...bukannya bulan depan uda puasa ya? Mau bikin yang iya-iya ga ya?...wkwkwwkkw
ReplyDeleteGa masalah mba bulan puasa jg... mayoritas kan emak" disini... asal sudah lewat jam 6 di upload nya... syah..syah aja....wkwkwkwkwkwk
DeleteLewat jam 6 sore mksdnya... setelah buka puasa....hahahahaaaa
Deleteakhirnya masumi berjuang untuk kebahagiannya
ReplyDeletekadang kala kebahagian memang harus dikejar karena dengan kebahagiannlah hidup itu lebih berarti
merelakan sesuatu yang bukan untuk kita membuat penerimaan yang lebih dalam dengan rahasia kehidupan
rin..
☝ angkat tangan paling tinggi..... mau banget sista lanjutan nya.. first night... hijiri mizuki... rey koji... hmmm...
ReplyDeleteBtw, aq kenapa curiga konflik nya di belakang yaa???
ReplyDeleteAsa ga mungkin sist agnes bikin cerita datar... umumnya qta di banting"....
Ya kalau gitu siapkan diri untuk bantingannya ya...hahahaa
DeleteOMG.. ga nyangka ternyata manisssss bangettttt... kirain Masumi bakal melakukan sesuatu yg bikin Maya marah saking cemburu nya dia... kutunggu next chapter nya yaaaaaaa...
ReplyDeletebenar2bikin diabet dirimuh sist agnes.. co cweeeettt... terimakasih bnyk udah mengobati kerinduanku pada MM..
ReplyDeleteso sweet banget thor... love it 😍
ReplyDeleteMksh mba agnes update an nya..so sweet bgt MM akhirnya sdh nikah..penasaran lanjutannya
ReplyDeleteWaaaaaa this is greatttt... sukaaakkkk mbak Agnes... ayo lanjut donk first night nya.. mau yg iya2 atau yang enggak2 boleh2 aja puasanya kan siang, malamnya kan enggak hehehe... ngarepdotkom 😄
ReplyDeleteGw angkat tangan setinggi mungkin nih... I want First night...hehehe. Lanjutkan mba....
ReplyDeleteWah jd deg2gan baca crita ne plus senyum2 ngk jelas. Berhubung akunya ngk puasa n udah cukup umur kok wlpn blom nikah bolehlah ya ikut tnjuk tngan, hehehe
ReplyDeleteSemoga berbahagia maya masumi.. ditunggu next chapter nya kak..hihihi
ReplyDeletedipikir koji mau diapain sm masumi ngga taunya lgsg buru2 dimarried mayanya biar koji ngga bs berkutik lg....hihi top mba agnes
ReplyDeleteLove it. Sukses trus mba agnes 😊
ReplyDeleteBaguuusss... Hahaha slalu surprise yaaa weddingnnya. Perlu brp komen nih spy nx chapternya segera rilis?? Penghiburan banget baca FFTKnya mba agnes kalo mengingat komik aslinya dah brp thn ga lanjut2 :( jd ksh yg happy2 ajaa yaaa mba
ReplyDeleteKeren say... Cakep...!!! Bonusnya juga aduhai, especially for mizuki n hijiri. Thanks so much ya dear...
ReplyDeleteMantap bikin diabet
ReplyDeleteHahaha....
Keren mba agnes... bonusnya juga keren....
Gak sabar nunggu lanjutnya
Bonusny juga dilanjutin yaaaaa
Salam kenal Mba Agnes,
ReplyDeleteaku baru mulai baca blog mba bulan lalu.. tp langsung addict, setiap hari dibaca :)
sayaah ikut tunjuk tangan utk chapter "iya-iya ga-ga"..
hahaha...
So sweet...ditunggu lanjutannya mba Agness, andai aku jadi Maya..hehehe
ReplyDelete